aksanews.com – Jika dicermati secara detail, salah satu pendeta di tanah Papua yang kerap membagikan tulisannya berkaitan dengan politik hingga ideologi tersemat kepada Socratez Yoman. Dirinya merupakan satu dari sedikit pendeta yang secara terang-terangan mendukung kelompok separatis serta upaya agar Papua lepas dari Indonesia. Dalam salah satu tulisan terbarunya yang diangkat oleh portal media papuaspiritnews.com, ia menulis sebuah pernyataan yang berjudul: Papua Barat Merdeka dari lima Mata (Five Eyes).
Menurutnya, para pejuang Papua Barat merdeka selama 60 tahun lebih berjuang di negara-negara kapitalis atau negara Five Eyes (lima mata), yakni: Inggris, Amerika, Kanada, Australia, dan Selandia Baru yang memiliki relasi ekonomi kuat dengan Indonesia. Negara-negara Five Eyes menduduki, menjajah dan menindas penduduk asli tanpa ampun. Penduduk Asli dimusnahkan dengan sistematis, terstruktur, terprogram, terpadu/terintegrasi, masif, meluas dan kolektif. Penduduk Asli tidak pernah diberikan ruang secara memadai dan yang layak. Sementara di Selandia Baru bisa bernafas sedikit, karena terdapat perjanjian yang disebut Treaty of Waitangi yang ditandatangani di Waitangi, Bay of Islands, Selandia Baru, pada tanggal 6 Februari 1840. Perjanjian tersebut mendirikan kegubernuran Inggris di Selandia Baru, dan mengakui kepemilikan Māori atas tanahnya.
Socratez Yoman lantas mengklaim menyamakan perjanjian tersebut dengan Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Nomor 21 Tahun 2001, untuk empat hal pokok, yakni: Recognition (Pengakuan) terhadap Orang Asli Papua (OAP), Protection (Perlindungan) POAP, Empowering (Pemberdayaan) POAP, serta Affirmation Action (Keberpihakan) POAP. Kemudian, ditambah lagi dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 20021 pada Bab XVII Pasal 46, dimana terdapat dua butir, yakni: 1) Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan 2) Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 adalah: a. Melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam NKRI, serta b). merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
Sayangnya, menurutnya UU Otsus No 21 Tahun 2001 yang merupakan win win solution/settlement tersebut dinilai gagal total dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia yang berwatak rasis dan berkultur militeristik. Para Pejuang Papua Barat merdeka sudah 60 tahun tinggal dan berjuang di Negara-negara Five Eyes yang mempunyai kepentingan ekonomi sangat besar di Indonesia dalam perspektif Negara/Pemerintah. Sementara rakyat sipil, NGO, Gereja-gereja dan beberapa anggota Parlemen dan akademisi dari negara-negara Fives ada yang bersimpati dan mendukung perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat merdeka.
Penguasa pemerintah Indonesia dengan negara-negara Five Eyes terdapat perjanjian Kontrak Politik dan ekonomi. Penguasa Indonesia berkewajiban dan bertanggungjawab menjaga tambang emas dan gas milik Amerika, Inggris dan Australia di Tanah Papua Barat. Penguasa Indonesia dengan kekuatan militer dan kepolisian Indonesia dengan ringan tangan, tanpa merasa dosa dan salah menembak mati OAP karena negara-negara Fives Eyes mengawasi dan mengatakan: Indonesia jaga tambang emas dan gas kami dan kami dukung Indonesia menjajah, menindas dan memusnahkan OAP.
Pertanyaannya kemudian ialah apakah rakyat Papua Barat tetap menunggu dan mengharapkan kemerdekaan diberikan oleh dunia Kapitalis Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat atau mau membuang jala ke Sosialis Blok Timur yang dipimpin China? Keduanya bisa disebut buah simalakama, karena sulit untuk diputuskan.
Menelaah Kaitan Five Eyes dan Hubungannya dengan Isu Kemerdekaan Papua
Entah apa yang menjadi pemikiran dari seorang Socratez Yoman hingga harus menghubungkan kepada tingkatan global hanya untuk misi menyinggung isu kemerdekaan Papua. Five Eyes atau lima mata adalah aliansi lima negara yang sepakat berbagi hasil intelijen atau sadapan, yaitu Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris. Five Eyes dibentuk usai Perang Dunia II di bawah kerja sama UKUSA atau The United Kingdom–United States of America Agreement untuk menghadapi Uni Soviet ketika itu. Nama Five Eyes kembali ramai diperbincangkan pada 2013 setelah aktivitas intelijen mereka dibocorkan oleh Edward Snowden ke beberapa media. Di antara yang dibocorkan adalah penyadapan AS terhadap telepon presiden Indonesia ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono, dan istrinya Ani Yudhoyono, serta beberapa pejabat kabinet. Akibat bocoran tersebut, Australia dan Indonesia bersitegang.
Dalam sebuah pemberitaan pada 2018 lalu, berdasarkan pengakuan tujuh pejabat pemerintahan di 4 negara anggota Five Eyes kepada Reuters, hasil intelijen terhadap China juga dibagikan ke negara lainnya, diantaranya Jerman, Perancis, dan Jepang. Untuk diketahui bahwa China merupakan oposisi dari Five Eyes. China dianggap ancaman setelah semakin melebarkan sayap ekonomi dan pengaruhnya di seluruh dunia untuk tujuan politis. Beijing juga disebut kerap melancarkan serangan intelijen dan digital ke negara-negara Barat, salah satunya untuk mencuri rahasia dagang perusahaan-perusahaan besar.
Adanya tuduhan kontrak ekonomi politik antara pemerintah Indonesia dengan sejumlah negara Five Eyes yang memiliki kepentingan di Papua kemudian dihubungkan dengan upaya kemerdekaan dari Indonesia, membutuhkan data dan fakta yang lebih komprehensif. Mengapa demikian? Berdasarkan jejak tulisan yang kerap disampaikan oleh Socratez Yoman, logika jalan berpikir yang dirinya bangun kerap mengawang dan mengada-ada. Menganggap apa yang menjadi isi kepalanya telah terjadi di dunia nyata. Padahal pernyataan-pernyataan tersebut baru sebatas wacana atau harapan yang dipaksakan menjadi kenyataan.
Upaya Pihak Asing Manfaatkan Kelompok Pro Kemerdekaan untuk Tujuan Sepihak
Jika terdapat kecenderungan pemberitaan atau isu yang kembali berkembang berkaitan dengan upaya pelepasan Papua dari Indonesia. Tentu hal tersebut tidak terjadi secara organik begitu saja. Sebagai publik yang paham dalam bermedia, kita patut curiga bahwa terdapat campur tangan pihak lain yang bermain untuk membentuk opini bahwa seakan-akan rakyat Papua bersikukuh untuk lepas dari Indonesia.
Pengamat Intelijen, Stanislaus Riyanto pernah menyampaikan bahwa maraknya kembali gerakan mendukung kemerdekaan papua perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia. Terdapat indikasi dukungan gerakan tersebut berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing dalam bentuk dana dan teknis. Campur tangan dari LSM asing bisa mengakibatkan keresahan yang mampu memicu kerusuhan. Hal tersebut selanjutnya dipakai untuk menyalahgunakan kebijaksanaan dan aktivitas pemerintah Indonesia di Papua, menjustifikasi gerakan separatis, dan menuntut dunia internasional agar turut mengintervensi. LSM-LSM asing pro-kemerdekaan Papua menggunakan dalih pembelaan masyarakat lokal terhadap pelanggaran HAM, dan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam Papua. Salah satu contoh adalah program SETAPAK 3 yang dikelola oleh The Asia Foudation (TAF) dan didanai UK Climate Change. Dalam misinya, program SETAPAK 3 memandang DOB berdampak negatif. Oleh karenanya, TAF mendanai sejumlah kelompok separatis dan media partisan di Papua untuk menolak DOB serta mencabut Otsus.
Politik Devide et Impera dalam Masalah Separatisme Papua
Tulisan Socratez Yoman yang menyinggung Five Eyes berkaitan dengan kemerdekaan Papua justru membuka pintu adanya politik devide et impera yang dilakukan pihak asing. Dugaan keterlibatan asing terhadpa kelompok separatis Papua bukanlah rumor baru. Sudah banyak temuan bantuan berupa pendanaan hingga persenjataan kepada gerakan tersebut. Selain itu, perlu kita kritisi bahwa Kelompok Separatis Papua bisa memiliki kekuatan tempur dan bertahan selama bertahun-tahun jika tanpa dukungan dari luar. Negara-negara seperti AS dan Australia selalu dituding menjadi “donatur” mereka. Kepentingan ekonomi menjadi dasar dari adanya keterlibatan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa di tanah Papua terdapat banyak daerah penghasil tambang berupa emas, mineral, hingga minyak bumi. Melimpahnya SDA di Papua, selain membawa keuntungan bagi perekonomian Papua dan Indonesia, juga membawa ketertarikan pihak asing untuk bisa menguasai sepenuhnya.
Dengan membentuk gerakan separatis seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), pihak asing tersebut bisa mendorong lepasnya Papua dari Indonesia, sehingga nantinya akan lebih mudah dikuasai oleh mereka. Hal tersebut bisa dikatakan sebagai bagian dari strategi politik devide et impera atau strategi pecah belah. Strategi ini sendiri bertujuan untuk memecah persatuan kelompok besar menjadi kelompok kelompok kecil. Karena kelompok kecil ini akan lebih mudah ditaklukkan dan dikuasai oleh mereka, serta lebih mudah untuk dibuai dengan imbalan dari kepentingan asing.
Mengurai Kompleksitas Masalah di Papua
Kompleksitas permasalahan di Papua terbentuk dari akumulasi berbagai faktor, mulai politik, sosial, dan ekonomi. Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi merespon bahwa kondisi tersebut disebabkan oleh krisis kepercayaan dan akumulasi dari masalah lainnya. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah pusat timbul karena para anggota gerakan separatis merasa tidak yakin dengan solusi dan agenda yang ditawarkan. Menurutnya, kadang apa yang ditawarkan oleh pemerintah hanya dilihat dari sudut pandang mereka saja, tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat atau tuntutan dari anggota gerakan tersebut. Di sisi lain, Papua sendiri masih terbelakang dalam kemampuan ekonominya. Provinsi di wilayah Papua menjadi salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Meski telah banyak pembangunan oleh pemerintah, tetap saja itu belum cukup untuk menjangkau semua masyarakat Papua. Terutama di wilayah pegunungan dan pedalaman Papua yang tentunya masih sangat under-developed. Kondisi ini pula yang turut menyebabkan harga barang barang mahal dan kualitas pendidikan yang rendah.
Hal ini tentu menjadi alasan bagi para pendukung Papua merdeka, karena hasil dari tanah mereka yang kaya justru tidak dinikmati oleh mereka. Kesan “anak tiri” yang mungkin tumbuh pada sebagian masyarakat, akan semakin mempersulit pemerintah untuk menyelesaikan masalah. Tentu pemerintah harus bisa mendapat suara dari seluruh warga Papua, bukan hanya dari masyarakat di perkotaan saja. Upaya damai harus selalu dikedepankan pemerintah untuk menarik simpati masyarakat Papua, sembari dengan tegas menindak aksi aksi kelompok separatis. Kesan persamaan dan persatuan tidak hanya bisa disebarkan lewat slogan nasionalis saja, namun juga persamaan pembangunan, ekonomi dan pendidikan.
Maka adanya pernyataan dari Socratez Yoman bahwa Papua Barat merdeka dari Five Eyes adalah sebuah logika berpikir yang keliru atau sengaja dibelokkan. Sudah jelas bahwa selama ini kelompok pendukung kemerdekaan Papua didukung oleh negara asing demi perebutan dan penguasaan SDA. Sementara, sang pendeta politik tersebut dengan keyakinannya yang semu menganggap bahwa jika Papua merdeka, juga akan terbebas dari pengaruh atau kekuasaan five eyes yang secara posisi memang telah berada di sekitar masyarakat Papua. Sebuah mimpi di siang bolong!
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)